ERA EMAS REVOLUSI PERTANIAN

Beberapa waktu belakangan ini negeri kita untuk ke sekian kalinya mengalami krisis kedelai dan minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit.  Kedua komoditas pertanian ini memang memiliki karakter ketersediaan yang berbeda.  Bahan baku minyak goreng sangat berlimpah.  Bahkan, setelah dikurangi konsumsi dalam negeri dan ekspor pun tetap saja surplus.  Lain halnya dengan kedelai yang sangat tergantung dari impor.  Hampir 90% kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor. 

Dulu, pada tahun 1984, Indonesia pernah sampai pada titik swasembada beras.   Atas capaian tersebut, Food and Agriculture Organization (FAO) mengundang Presiden Soeharto dalam Konferensi FAO ke 23 di Roma Italia pada 14 November 1985.  Direktur Jenderal FAO, Dr Eduard Saoma, mengundang Presiden Soeharto untuk menyampaikan pidato di konferensi tersebut sebagai perwakilan negara berkembang.  Sementara, Presiden Perancis, Francois Mitterand, berpidato sebagai perwakilan negara maju.  Sekalipun demikian, pada saat itu Indonesia masih tetap mengimpor beras sebanyak 414,3 ribu ton.  Hal ini karena berdasarkan ketetapan FAO suatu negara dikatakan swasembada pangan jika produksinya mencapai 90% dari kebutuhan nasional.

Al Dinawari menulis kitab al Nabat.  Kitab ini dianggap sebagai kitab yang tidak pernah ada yang semisalnya pada masa sebelumnya dan dijadikan rujukan, kajian, serta penelitian-penelitian para ilmuwan setelahnya. 

Menengok jauh ke belakang di era keemasan peradaban Islam, perhatian para Khalifah terhadap bidang pertanian sangatlah besar.  Mengingat pertanian berperan vital terhadap penyediaan kebutuhan pokok pangan dan sandang.  Kebutuhan pokok pangan hanya bisa tersedia melalui pertanian (dalam arti luas mencakup perkebunan, perikanan, peternakan).  Tak ada kebutuhan pangan dari bahan sintetis.  Demikian pula, ketersediaan bahan kebutuhan pokok sandang juga dipenuhi dari pertanian.  Perhatian terhadap dunia pertanian menghindarkan masyarakat dari bahaya kelaparan dan ‘ketelanjangan’.

Karena itulah, banyak ilmuwan muslim saat itu yang mencurahkan perhatian bagi pertanian sehingga menghasilkan revolusi pertanian.  Beberapa di antaranya adalah al Dinawari (w 281 H), Ibnu Sidah (w 458 H), Ibnu al Rumiyah (w 637 H), Ibnu al Baythar (w 641 H).

Pengetahuan yang paling mendasar di bidang pertanian adalah tentang pengenalan jenis tumbuhan itu sendiri.  Al Dinawari dikenal sebagai pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani).  Selain pakar di bidang pertanian, dia juga pakar nahwu dan astronomi.  Berkenaan pertanian, al Dinawari menulis kitab al Nabat.  Kitab ini dianggap sebagai kitab yang tidak pernah ada yang semisalnya pada masa sebelumnya dan dijadikan rujukan, kajian, serta penelitian-penelitian para ilmuwan setelahnya.  Kitab ini mengupas beratus-ratus (637 jenis) tumbuhan dengan terperinci sejak mulai tumbuh hingga matinya.  Al Dinawari juga mengkaji astronomi dan meteorologi terkait kepentingan pertanian seperti posisi matahari, angin, hujan, air, dan lain-lain.  Ilmu geografi pertanian pun tak luput dari kajiannya seperti jenis batuan, pasir, dan tipe-tipe tanah yang cocok penggunaannya bagi tanaman tertentu.  Walhasil, al Dinawari digelari Syaikh al Nabatiyyin.

Ibnu Sidah menulis kitab al Mukhassas yang bisa dianggap sebagai mausu’ah.  Pada bagian 10 sampai 12 membicarakan tentang tumbuhan, rumput, pohon-pohon besar, sayuran, tumbuhan menjalar, dan sebagainya.  Juga dikemukakan uraian terperinci terkait sifat setiap jenis.  Kitab ini merupakan karya yang sangat berguna terutama bagi yang berkecimpung dalam bidang yang berkaitan dengan tanam-tanaman.

Ibnu Rumiyah merupakan ulama yang juga menonjol dalam bidang tumbuh-tumbuhan.  Bahkan, dia dianggap hujah dalam bidang ini di Andalusia.  Sayangnya, kitab al Rihlah al Nabatiyah karyanya tidak dapat ditemukan lagi, kecuali apa yang dinukil oleh Ibnu al Baythar muridnya.

Ibnu al Baythar merupakan ilmuwan terkemuka di bidang botani.  Kitabnya al Jami’ li Mufradat al Adawiyah wa al Akhziyyah ini dihasilkan dari kajian yang mendalam dan dilakukan secara eksperimen.  Ibnu al Baythar mengumpulkan semua yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan.  Sedikitnya 1.400 jenis tumbuhan.  Ibnu al Baythar juga meneliti anatomi hewan.  Kitabnya tersebut merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad.

Sebelumnya, di Andalusia pada abad 12, juga dikenal Ibnu al ‘Awwam al Ishbili.  Dia menulis kitab al Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya.  Memuat 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah.  Kitab ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad 19.

Selain mendalami ilmu botani, para ilmuwan muslim saat itu juga mengkaji tanah.  Azhar Rasyid mengemukakan, mereka dengan seksama mengamati tanah, lalu mengkategorikannya menjadi berbagai jenis berdasarkan komposisi pembentuknya.  Berbekal pengetahuan terhadap jenis-jenis tanah ini kemudian bisa dilakukan pengamatan terhadap jenis pupuk yang dapat dipakai untuk membuat kesuburan tanah menjadi optimal.  Hal ini menggantikan teknik pertanian model lama yang hanya tergantung kepada peristiwa alam seperti hujan ataupun keberadaan sumber air seperti sungai pun mengalami perubahan.  Metode artifisial yang diperkenalkan para ilmuwan yang mengkaji soal tanah itu dapat membuat tanah ditanam lebih sering dengan hasil panen yang lebih banyak.  Mereka memperkenalkan penggunaan pupuk untuk tanah-tanah yang mengalami erosi dan pemakaian irigasi untuk mengatasi masalah tanah yang mengalami kekeringan.

Irigasi atau sistem pengairan mendapatkan atensi tersendiri di dunia Islam masa itu. Sejumlah tanaman membutuhkan suplai air yang lebih banyak, misalnya tebu.  Di sisi lain, karena tanaman ditanam lebih sering daripada biasanya, maka air yang diperlukan juga menjadi berkali-kali lipat.  Salah satu solusi untuk masalah ketersediaan air adalah dengan mengembangkan kincir air yang lebih maju, yang dapat mengangkat air dengan lebih banyak dan teratur.  Matematika dan pengetahuan gaya tarik bumi dipakai untuk mendapatkan air dengan lebih maksimal.  Sumur-sumur digali untuk memperoleh sumber air baru.

Satu sistem pengangkatan dan distribusi air yang khas di masa itu ialah apa yang dikenal sebagai na’ūra (noria) Ini adalah mesin hidrolik yang berfungsi untuk mengangkat air yang kemudian didistribusikan ke area pertanian atau disebarkan ke berbagai tempat di kota.  Roda air ini memiliki diameter hingga puluhan meter dan sanggup mengangkat air dalam jumlah besar dari sungai.

Sejarawan Andrew M. Watson di dalam studi klasiknya tentang inovasi pertanian yang dibawa ilmuwan Arab-Muslim, ‘The Arab Agricultural Revolution and Its Diffusion, 700-1100’ di The Journal of Economic History (1974), mengemukakan setidaknya tiga arti penting revolusi pertanian ini.  

Pertama, cakupan pengaruhnya yang sangat luas secara geografis. Mulanya revolusi ini hanya berlangsung di beberapa bagian di timur Jazirah Arabia, seperti di Persia dan Mesopotamia, serta juga di bagian selatannya, seperti di wilayah yang sekarang menjadi Yaman.  Tapi, sejak abad ke-11, wilayah cakupannya menjadi jauh lebih luas lagi, antara lain dengan mencapai tempat-tempat seperti Transoxania, Persia, Mesopotamia, Levant (negeri-negeri di pesisir timur Mediterania), Mesir, Maghribi, beberapa bagian Afrika bahkan hingga Spanyol dan Sisilia di Eropa.

Kedua, jenis tanaman yang disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia Islam sangat banyak.  Awalnya kaum muslimin menemukan tanaman-tanaman ini di India, di mana iklim tropis dan kelembaban memudahkan tumbuhnya beraneka ragam tanaman.  Dari sana tanaman-tanaman itu dibawa ke wilayah-wilayah futuhat namun dengan iklim yang berbeda, baik karena lebih dingin atau lebih kering.

Daftar tanamannya tergolong panjang, dengan beberapa di antaranya ialah padi, sorgum, gandum keras, tebu, katun, semangka, terong, bayam, artichoke, colocasia, jeruk asam, jeruk lemon, jeruk nipis, pisang, pisang plantain, dan kelapa serta mangga (dua buah terakhir ini hanya bisa dibudidayakan di wilayah tropis, misalnya di Arab selatan).  Sejumlah wilayah di dunia Islam sebelumnya tidak mengenal tanaman-tanaman baru itu.  Watson menggarisbawahi bahwa daftar itu masih belum lengkap, mengingat masih ada lagi tanaman-tanaman yang penyebarannya tidak terdeteksi di dalam sumber sejarah yang ada.

Ketiga, revolusi ini bukan hanya soal budidaya tanaman atau penggunaan pupuk saja. Revolusi ini membawa dampak yang jauh lebih besar daripada hanya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.  Bidang-bidang yang dipengaruhinya amat luas, mulai dari ketersediaan hasil pertanian, gaya hidup, pola makan, resep makanan, kuliner, nutrisi, pakaian, jenis pekerjaan baru, perdagangan, dan pertumbuhan industri yang berkaitan dengan makanan.  Bahkan, kelahiran kota-kota yang muncul dengan cepat di dunia Islam salah satunya ditopang oleh revolusi pertanian ini.

Peradaban Islam bukanlah peradaban gua.  Peradaban Islam telah terbukti membawa banyak kemajuan di eranya.  Dan meletakkan pondasi kemajuan bagi era setelahnya.

Tinggalkan komentar