AGAR LEBARAN LEBIH BERMAKNA

Setiap habis Ramadhan, hamba rindu lagi Ramadhan
Saat-saat padat beribadah, tak terhingga nilai mahalnya
Setiap habis Ramadhan, hamba cemas kalau tak sampai
Umur hamba di tahun depan, berilah hamba kesempatan
Alangkah nikmat ibadah di bulan Ramadhan, sekeluarga, sekampung, senegara
Kaum nuslimin dan muslimat sedunia seluruhnya kukuh, dipersatukan, dalam memohon ridho-Nya
Yup !  Masih ingat dengan bait syair di atas ?  Itu adalah cuplikan lagu Ramadhan dari Bimbo.  Kelihatannya emang benar, ya.  Perasaan baru aja kita puasa bersama, sahur bersama, buka bersama, tarawih bersama, tadarrus bersama, umpat pesantren Ramadhan bersama, en lain-lain bersama.  Eeh…sekarang bulan penuh kemuliaan itu telah berlalu meninggalkan kita.  Masih menjadi tanda tanya apakah kita dapat berjumpa lagi dengannya tahun depan.

Sobat muda, bagaimana perasaan sobat manakala Ramadhan telah usai ?  Adakah rasa cemas jangan-jangan ini adalah Ramadhan terakhir sobat ?  Rindukah sobat untuk bertemu dengan Ramadhan kembali ?  Ataukah sobat sedih karena berbagai kemuliaan dan keistimewaan yang ada di Bulan Ramadhan telah berakhir ?  Atau justru sobat gembira karena telah bebas dari ‘belenggu’ Ramadhan ?  Kalo begitu, sobat muda perlu introspeksi dan evaluasi diri.  Bukankah Ramadhan telah datang menjumpai sobat sebanyak 17 kali (buat sobat yang saat ini sweet seventeen) ?  Dan Ramadhan akan terus datang seiring perputaran waktu yang telah menjadi sunnatullah.  Perlu evaluasi apakah setiap kali Ramadhan datang terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas amal serta perubahan perilaku pada diri.  Karena, Ramadhan tak ubahnya kawah condrodimuko yang akan melebur setiap diri untuk menjadi mukmin sejati, menjadi insan muttaqin.

Ramadhan membuat semakin jelas mana emas dan mana loyang.  Kalo setiap kali usai Ramadhan tidak ada perubahan berarti pada diri sobat, pasti ada something wrong dalam ibadah ramadhan sobat.  Perbaikilah !  Better late than never.

Peningkatan amal dan ketaatan !  Itulah dampak nyata dari Ramadhan.  Itu pula makna dari Syawwal yang secara bahasa berarti peningkatan.  Usai Ramadhan harus ada peningkatan dalam ketaatan.  Yang wajib selalu digawi seperti shalat lima waktu kada belang kambingan lagi, patuh pada ortu makin kental, sekolah tambah rajin, mengkaji Islam kian giat, da’wah pun mulai dilakukan, en banyak lagi kewajiban yang lain.  Senantiasa bersemangat melaksanakan amalan sunnah (mandub) seperti shalat-shalat sunnah mulai dikerjakan, baca Al Qur’an tetap rutin, sedekah disisihkan, en lain-lain lah.  Cuma perlu diingat, bahwa amalan sunnah tidak boleh mengalahkan yang wajib, misal karena sedang giat-giatnya shalat sunnah dia lupa mengkaji Islam.  Kalo ini terjadi, tak ubahnya seperti orang yang sibuk memikirkan sabuk (ikat pinggang) apa yang hendak dipakai tapi dia lupa makai celana (hiii…ngeri dong).
Perbuatan mubah silakan dipilih mau digawi atau kada.  Tapi, kalo mau mencontoh para sahabat, mereka hanya menggawi satu perbuatan mubah dari sepuluh yang ditawarkan.  Nonton TV, main sepakbola, rekreasi adalah perbuatan-perbuatan mubah.  Perlu diingat, jangan terlena dengan yang mubah.  Tentu keliru kalo gara-gara begadang nonton Juventus vs Bayern Munchen dalam laga Liga Champions bikin ngantuk pada saat halaqoh (mengkaji Islam)nya.  Bawaannya nguap melulu (habis…ngantuk sih).  Apalagi keasyikan nonton film India sehingga tidak mau disuruh ibu.  Rasulullah SAW bersabda : “Di antara kebaikan Islam seseorang, dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR.Tirmidzi).  Yang makruh harus mulai bisa ditinggalkan sekalipun mengerjakannya pun tidak berdosa.  Tapi untuk hal-hal haram, itu mutlak ditinggalkan.  Gosip yang bisa ditahan waktu Ramadhan harus tetap ditahan usai Ramadhan.  Pandangan yang mulai nunduk jangan kembali jelalatan.   Pacarannya jangan stop pas Ramadhan aja tapi mesti stop untuk selamanya.

Kalo ketaatan ini bisa dilakukan en ditingkatkan yaitu dengan terikat pada hukum syara’ yang lima (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) berarti tempaan Ramadhan ada hasilnya.  Sementara, kalo usai Ramadhan kembali ke ‘selera asal’, ini seperti yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya : “Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan haus.” (HR. Ibnu Khuzaimah).  Rugi, kan ?  Terang aja !  Wong sudah uyuh-uyuh puasa eee…ternyata kadada nilainya.  Kalo cuma lapar en haus doang ngapain harus repot-repot puasa.  Iya, kan ?   Rasulullah SAW juga bersabda : “Ied bukanlah untuk orang yang berbaju baru, akan tetapi ‘ied untuk orang yang ketaatannya bertambah.”

Ya, jangan sampai lah diri yang telah kembali suci ini dikotori lagi.  Bukankah orang yang menunaikan shaum secara benar selama bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya ?  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa shaum Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan maka diampuni dosa-dosa sebelumnya.” (HR. Bukhari – Muslim).  Apa jadinya kalo baju putih yang mulai kotor kemudian kita cuci sehingga kembali menjadi putih bersih, tapi setelah itu kita celupkan lagi ke dalam lumpur.  Sia-sia kan mencucinya ?  Buang-buang energi, buang-buang waktu, buang-buang duit untuk beli sabun !  So, jagalah kesucian ini, jangan dikotori lagi !

Jangan Jadi Bunglon

Sobat muda tau bunglon, kan ?  Itu tuh…binatang yang bisa merubah warna tubuhnya sesuai warna tempat yang dihinggapinya.  Kalo pas nemplok di daun hijau dia berubah menjadi hijau.  Hinggap di baju merah jadilah dia merah.  Parkir di aspal hitam dia pun menjadi hitam.  Pokoknya, bunglon selalu berubah warna tergantung situasi.  “Biar aman,” fikir bunglon.

Kenapa sih harus membahas bunglon ?  Ada hubungannya sobat muda !  Karena, manusia pun bisa berpolah seperti bunglon.  Pas ‘hinggap’ di partai hijau mereka menjadi hijau.  Eee…ketika di partai merah lebih enak, mereka berubah jadi merah.  Ketika partai kuning menjanjikan lebih baik, mereka pun tak segan berubah kuning. (Backsound : masalah warna hanyalah fiktif.  Kalo ada kesamaan dengan warna anda itu karena tidak ada warna lain…he…he…he…  I am sorry).

Begitu juga sobat muda semua bisa juga menjadi bunglon.  Pas Ramadhan menjadi taat, di luar Ramadhan kembali maksiat.  Di dalam shalat menutup aurat, di luar shalat umbar aurat.  Di majelis ta’lim hanya wajah en telapak tangannya saja yang terlihat, selesai majelis ta’lim wajah en telapak tangannya saja yang tak terlilhat (habis semuanya dibuka sih).  Ada saat berbuat baik, ada pula saat berbuat buruk.  Pokoknya, STMJ (Shalat Terus Maksiat Jalan)…lah.   Bagaimana pun kalo setelah Ramadhan kembali ke ‘warna’ aslinya, itu bunglon namanya.  Tidak punya pendirian.  Tergantung kemana arah angin bertiup dan arus mengalir.

Mungkin sobat muda mengira hal demikian tidak apa-apa.  Para selebritis juga berlaku seperti itu.  Apalagi mereka-mereka itu kan telah menjadi idola kaum muda.  So, apapun tingkah-polah mereka pasti diikuti.  Tapi, sobat muda jangan tergiur meniru selebritis yang emang sudah biasa berperilaku bunglon.  Bukan nuduh lho ya.  Tapi, emang faktanya seperti itu.  Di sinetron Ramadhan mereka rapi menutup aurat, setelah itu bisa lihat sendiri.  Seakan-akan ingin mengatakan : “Lu bebas mau liat yang mana.” Selebritis cowoknya juga gitu.  Jadi orang baik dan alim di sinetron Ramadhan padahal di luar Ramadhan dia berpose nyaris telanjang.  Para ‘aktivis goyang’ pun agak menghemat goyangannya dengan alasan : menghormati bulan Ramadhan.  Setelah itu, goyang pun jalan lagi.  Aaah…pusing deh mikirin mereka.  Mendingan do’akan supaya tobat.

Untuk itu, jangan sampai lah segala bentuk acara bernuansa Islam yang telah diikuti selama Ramadhan nyaris tak berbekas lenyap seiring terbitnya fajar 1 Syawwal.  Bukankah sobat muda banyak ikut Pesantren Ramadhan, majelis-majelis ta’lim, ceramah tarawih, seminar keIslaman, en lain-lain kan ?  Sobat muda, terapkanlah apa-apa yang didapatkan dari sana.  Kan sayang kalo cuma masuk telinga kiri keluar telinga kanan alias numpang lewat doang.  Harus nempel, gitu loh…

Kembali ke Fitrah

Apa sih artinya fitrah ?  Sobat perlu tau supaya dapat ngerti en faham.  Sobat,  secara bahasa fitrah itu berasal dari kata fathara – yafthuru – fathran wa futhran wa fithratan (ini bahasa Arab lho, sobat muda) yang berarti pecah, belah, berbuka, mencipta.  Jika dikatakan fathar Allah itu artinya Allah menciptakan.  Jadi, menurut orang Arab asli, fathara artinya memulai, mencipta atau mengkreasi.  Dan fithrah artinya ciptaan.  Allah SWT berfirman : “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.  Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.  (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum : 30)

Dalam menafsirkan ayat ini Ibn Abdil Bar dan Ibn Athiyah menjelaskan bahwa fitrah Allah adalah ciptaan, bentuk atau karakter yang telah disiapkan Allah agar manusia dapat mengenali berbagai ciptaan Allah dan menjadikannya dalil untuk mengetahui dan mengimani eksistensi Allah serta mengetahui syari’at-Nya.  Imam Al Qurthubi menyatakan Allah telah menciptakan akal manusia untuk siap menerima kebenaran.  Selama akalnya tetap dalam fitrah itu maka ia akan mengenali kebenaran.  Agama Islam adalah agama yang benar (Tafsir al Qurthubi XIV/29).  Sedangkan Ibnu Atsir menjelaskan fitrah itu tidak lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi kemanusiaan yang siap untuk menerima agama.  Oleh karena itu, Imam Zamakhsyari mengatakan fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar, dan tanpa beban.  “Duuuh…seriusnya bahas tafsir”. Tapi, sekali-kali boleh kan ?

Ya, secara alami manusia emang memilih kebenaran.  Cuma, setan tak pernah bosan  menggoda manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya.  Jadilah dia terjerumus ke lembah maksiat.  Jadilah dia mengingkari fitrahnya.  Coba seandainya setan (baik yang tidak kelihatan maupun yang berwujud manusia) tidak ada, niscaya manusia hanya akan memilih kebenaran.  Betul ?  Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan lalu setan itu membelokkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim).  Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.  Kemudian kedua orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari).

Kondisi awal manusia berada dalam fitrahnya yang hanif.  Bujuk rayu setan dan salah asuhan kedua ortunya dapat menyebabkan penyimpangan fitrah tersebut.  Tapi, ada faktor besar lain yang turut berperan.  Apaan tuuuh ?  Adalah dirinya sendiri.  Allah SWT berfirman : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal tapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (QS. Al A’raf : 179).

Kalo begitu, bisakah kita kembali ke fitrah ?  Bisa dong !  Bukankah ketika kita berfikir bahwa kita bisa maka fikiran kita akan mengarahkan untuk meraihnya ?  Kalo sobat berfikir tidak bisa berarti ada ‘rantai gajah’ dan ‘kotak korek api’ pada diri sobat yang harus dibuang.  Sebagai langkah awal, ayo teriakkan : “Saya pasti bisa, saya pasti bisa !”
Kembali pada fitrah tidak lain adalah kembali kepada pengakuan eksistensi Allah SWT.  Allah SWT berfirman : “Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka (seraya berfirman) : ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu ?’ Mereka menjawab : ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al A’raf : 172).  Tapi ingat, tidak cukup sampai disitu, kita juga wajib memberikan bukti atas pengakuan tersebut. Lantas, apa buktinya ?  Jelas, ketaatan pada Zat yang diakui eksistensinya.  Dengan kata lain, taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh Allah SWT dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.  Inilah makna ibadah itu.  Allah SWT berfirman : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS. adz Dzariyat : 56).  Imam al Mawardi menjelaskan ibadah mencakup segala bentuk pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah).  Kalo sobat muda sholat, shaum, berekonomi sesuai aturan Allah, bergaul secara Islami, berpakaian menutup aurat, tidak pacaran, tekun menuntut ilmu, memahami politik Islam, and so on pada hakikatnya sobat muda sedang beribadah kepada Allah SWT.

Nah, shaum Ramadhan en bejibun aktivitas Ramadhan lainnya merupakan pengkondisian dan latihan untuk sadar en faham akan fitrah itu. Ramadhan telah menjadi kawah condrodimuko yang mengharuskan seorang muslim lebih merasakan en memahami fitrahnya.  Menjadikannya siap menerima kebenaran.  Shaum Ramadhan membuat seorang muslim lebih faham akan keterbatasan en keserbalemahan dirinya.  So, kebutuhan akan Pencipta menjadi mutlak.  Dia pun merasa perlu petunjuk en tuntunan-Nya.  Amatlah aneh kalo ada orang yang menolak aturan-aturan Allah SWT en berlagak dia mampu mengatur dirinya sendiri tanpa campur-tangan Allah SWT.  Setelah Ramadhan pilih mana : berubah taat ataukah tetap maksiat ?  Sobat muda tentu tau jawabannya !

Tinggalkan komentar