SELAMATKAN INDONESIA DENGAN SYARI’AH

Ditulis oleh Gusti Orrin Prayudi Wardhana

‘Indonesia Menangis’. Mengapa ? Karena masalah demi masalah menimpa negeri ini. Negeri berjuluk ‘Zamrud Khatulistiwa’ yang gemar ripah loh jinawi ini, kini terpuruk di segala bidang. Indonesia terpuruk menjadi negara miskin, sedikit di atas Zimbabwe (sebuah negara miskin di Afrika). Jumlah rakyat miskin di tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 35 juta orang. Di tahun 2007, meski pemerintah melalui BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, tapi angka itu tetaplah sangat besar karena mereka hidup di bawah garis kemiskinan sebesar Rp. 151.997 per orang per bulan, atau hanya sekitar seperlima dari Kebutuhan Hidup Minimum (BPS: Indikator Kunci Indonesia 2007). Jika kita mengikuti standar Bank Dunia tentulah angka kemiskinan itu semakin membengkak. Dengan standar 2 dollar per orang per hari, Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia di atas 100 juta orang atau 42,6% dari jumlah penduduk Indonesia 232,9 juta orang pada 2007, dan 236,4 juta orang pada 2008. Sekalipun selama tiga tahun terakhir anggaran untuk kemiskinan naik 2,8 kali, tapi jumlah orang miskin semakin meningkat (Metrotv, 27/12/07). Mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli memprediksi angka kemiskinan dan pengangguran meningkat tahun 2008 ini. Selama tiga tahun terakhir anggaran untuk kemiskinan naik 2,8 kali, tapi jumlah orang miskin semakin meningkat (Metrotv, 27/12/07). Kemiskinan pula yang membuat rakyat di wilayah pantai Timor Tengah Utara, NTT mengalihkan konsumsi dari beras ke putak yang merupakan pakan babi (Suara Islam, Edisi 29, 2008). Di beberapa daerah, rakyat terpaksa mengkonsumsi nasi aking.

Kemiskinan makin parah dengan tingginya pengangguran. Angka pengangguran terbuka di Indonesia terdata 10,28% dan setengah menganggur 29,1%. Ini artinya, sekitar 39,38% angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan yang aman. Bila angkatan kerja diperkirakan berjumlah sekitar 100 juta, berarti hampir 40 juta orang menganggur. Mereka yang aman telah memiliki pekerjaan pun rata-rata hanya mendapatkan pendapatan bersih Rp. 759.999 per orang per bulan. Bandingkan dengan kebutuhan hidup minimum Rp. 719.834 per orang per bulan. Sementara itu Upah Minimum Provinsi dipatok lebih rendah dari itu, yakni Rp. 602.702 per orang per bulan (BPS: Indikator Kunci Indonesia 2007).

“Sudah jatuh tertimpa tangga ditindih tetangga pula,” kira-kira modifikasi pepatah ini cukup untuk menggambarkan realita yang ada. Betapa tidak. Dengan kondisi seperti di atas, rakyat miskin masih harus menanggung beban hidup dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Sejak keputusan pemerintah yang menaikkan BBM pada Oktober 2005, tidak ada satupun komoditas yang tidak mengalami kenaikan. Beras, minyak tanah, minyak goreng, tepung terigu, tempe, tahu, dan lain-lain semuanya naik. Tak tanggung-tanggung, bukan sepuluh atau lima belas persen tapi bahkan hingga ratusan persen. Harga beras meroket tajam hingga mencapai Rp 5.000 per kg. Pemerintah dan DPR dengan dalih subsidi, sepakat membatasi penggunaan minyak tanah. Masyarakat hanya akan mendapakatkan 3,04 liter per hari (Kontan, 28/2/08). Sementara itu, kendaraan pribadi juga hanya akan dijatah 5 liter bensin per hari dengan menggunakan smart-card. Belum sampai kebijakan ini dilaksanakan, di sejumlah daerah premium menjadi langka. Di Tana Toraja, premium meroket hingga Rp. 50.000 per botol (1 liter) (Metrotv 27/2/08). Karena kelelahan saat antri minyak tanah di Surabaya, seorang lelaki akhirnya meninggal dunia (Trans7 10/3/08).

Kenaikan harga juga menyisakan ironi. Misalnya, Indonesia produsen terbesar kelapa sawit dengan produksi 17,2 jt ton per tahun. Tapi kini jutaan rakyat kesulitan beli minyak goreng, yang di beberapa daerah mencapai Rp 15.000 per kg, dari semula cuma Rp. 8.000 per kg. Menyusul hancurnya industri kecil berbahan kedelai, tepung terigu dan lainnya, akibat kenaikan harga bahan, ribuan pedagang makanan kecil juga gulung tikar (Metrotv 8/3/08). Pengangguran dipastikan meningkat. Kesulitan makin menyayat. Seorang pedagang gorengan di Serang memilih bunuh diri akibat tidak kuat menahan beban hidup setelah harga minyak goreng naik tajam yang membuat ia merugi Rp 15.000 tiap hari.

Daya beli yang semakin rendah sementara harga-harga semua kebutuhan pokok melonjak terus, membuat gizi tidak lagi diperhatikan. Yang paling serius terkena dampak adalah anak-anak. Di Makassar, seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan dan anaknya berusia 5 tahun meninggal karena kelaparan (Metrotv, 1/3/08). Di Temanggung, Jawa Tengah, 299 anak menderita gizi buruk akut. Sebagian besar dari mereka belum tertangani karena minimnya fasilitas pelayanan (Metrotv 9/3/08). Gizi buruk memberikan kontribusi 50% kematian dunia. Lima penderita gizi buruk selama Januari – Februari 2008 di Kabupatern Rote Ndao, NTT telah meninggal dunia. Di Magetan, wilayah yang tak jauh dari pusat kekuasaan, seorang anak karena tidak kuat menahan rasa sakit maag akibat makan cuma sekali sehari, akhirnya memilih gantung diri. Dikri Muhammad (3 tahun), warga kampung Genteng, Kecamatan Cilamajang, Tasikmalaya, akhirnya juga meninggal karena menderita busung lapar akibar kurang makan (Republika, 11/03/08). Gizi buruk di Indonesia memang sangat besar. Menurut Menkes Siti Fadilah Supari, tahun 2007 lalu ada 4,1 juta kepala (Republika, 10 Maret 2008).

Celakanya lagi, karena telah menjadi problem akut buat Indonesia, dana bantuan bencana dan bantuan untuk orang miskin seperti raskin (beras untuk orang miskin) juga dikorup.

Dana fasilitas dan pelayanan publik pun terkuranginya akibat cicilan dan bunga hutang yang ‘memakan’ porsi 30 % dari APBN 2007. Beban hutang Indonesia memang luar biasa besarnya. Pada Maret 2002, hutang Indonesia sudah mencapai lebih dari Rp 1400 trilyun, terdiri Rp 742 trilyun utang luar negeri dan sisanya adalah hutang dalam negeri. Tahun 2004 hutang ini sudah membengkak sampai Rp 2000 trilyun. Berarti setiap bayi yang lahir sudah memiliki hutang Rp 10 juta tanpa pernah melihat uangnya.

Sebuah Ironi

Keadaan tersebut tentu menjadi sebuah ironi mengingat semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Hutannya paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. “Bahkan tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman,” kata lagu Koes Plus. Di hutan tersebut tersimpan potensi kekayaan yang luar biasa seperti kayu, damar, rotan, plasma nutfah, dan lain-lain. Dari luas hutan produksi yang dikuasai 9 perusahaan besar yakni seluas 11,47 ha atau setara luas Pulau Jawa memberikan hasil sekitar US $ 2,5 milyar/tahun.

Wilayah perairannya sangat luas. Mencakup 14 % dari seluruh pesisir dunia. Kaya akan jenis ikan (25 % dari jenis ikan yang dikenal di dunia ada di Indonesia), kaya akan terumbu karang, dan memiliki hutan bakau terluas di dunia. Diperkirakan kandungan ikannya mencapai 6,2 juta ton dan baru 3,5 juta ton (56 %) yang termanfaatkan. Devisa yang didapat US $ 18,6 milyar/tahun (harga ikan US $ 3/kg) Belum lagi mutiara dan kandungan mineral laut lainnya.

Di daratan tersimpan berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara, dan sebagainya. Kandungan emas di Papua termasuk yang terbesar di dunia. Dari sana dihasilkan 125.000 ton batuan/hari yang setara dengan 6.000 ton konsentrat/hari. dari tiap ton konsentrat dihasilkan 300 kg tembaga, 60 gram perak, dan 30 gram emas. Selama 25 tahun Freeport telah mengangkut 1.620 ton emas, 3.240 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Bumi Papua masih menyimpan cadangan 1.200 ton emas, 2.500 ton perak, dan 12,7 juta ton tembaga.

Di bawah perut bumi terkandung minyak dan gas yang sangat besar. Blok Cepu memiliki kandungan minyak yang sangat besar

Jadi, sungguh Indonesia sangat kaya. Adalah ironis kalau rakyatnya terpuruk dalam kemiskinan, negaranya penuh hutang. Betul-betul seperti kata pepatah : “Ibarat ayam mati kelaparan di lumbung padi.”

Mencari Sebuah Solusi

Lantas pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi ? Di mana letak kesalahannya ? Pada sistem yang digunakan menata negara inikah atau pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah ? Ataukah kedua-duanya ? Dan yang paling penting, apa yang harus kita lakukan ?

Semua rakyat Indonesia menginginkan negeri ini segera terbebas dari krisis. Masalahnya, bagaimana caranya ? Sekedar mengganti pemerintahan terbukti tidaklah cukup. Bukankah semenjak krisis sudah terjadi 4 kali pergantian pemerintahan ? Tapi, krisis tak kunjung berakhir. Berarti, krisis ini terjadi bukan semata-mata karena human hazard (keburukan seseorang). Lantas, karena apa ?

Dalam perspektif Islam, krisis ini tidak bisa dipandang sebagai musibah yang kita harus menerimanya dengan sabar. Akan tetapi, krisis ini adalah fasad. Allah SWT berfirman dalam QS. Ar Rum : 41 yang artinya : “Telah nampak kerusakan (fasad) di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia.” Dalam menjelaskan ayat ini, Muhammad Ali Al Shabuni dalam kitab Shofwatu al Tafaasir menyatakan bahwa kerusakan tersebut terjadi karena kemaksiatan dan dosa-dosa manusia (bi sababi ma’ashi al naas wa dzunubihim). Tatanan ekonomi kapitalistik, perilaku politik oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta sistem pendidikan yang materialistik jelas merupakan kemaksiatan kepada Allah SWT. Walhasil, wajar jika terjadi kerusakan (fasad).

Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah SWT, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan. Setiap bentuk kemaksiatan pasti menimbulkan dosa. Dan setiap dosa pasti menimbulkan kerusakan (fasad). Dengan demikian, AIDS adalah kerusakan (fasad) sebagai akibat perilaku sex bebas yang dilarang oleh Allah SWT. Krisis moneter (keuangan) adalah kerusakan (fasad) sebagai akibat pengabaian sistem moneter Islam, yakni penggunaan emas dan perak sebagai mata uang yang telah diwajibkan oleh Allah SWT. Pengangguran, kemiskinan dan segala tetek-bengek masalah ekonomi adalah kerusakan (fasad) sebagai akibat tidak mau menerapkan sistem ekonomi Islam seperti pengelolaan SDA. Kriminalitas yang meningkat 1000 % adalah kerusakan (fasad) sebagai akibat tidak diterapkannya sistem pidana Islam (‘uqubat). Keamburadulan dunia politik adalah kerusakan (fasad) yang disebabkan jauhnya dunia politik dari ajaran politik (siyasah) yang telah digariskan Islam. Perdebatan seputar isu putra daerah adalah kerusakan (fasad) sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep kepemimpinan dalam Islam (ri’asah). Pendek kata, semua krisis yang menimpa kita saat ini lebih mengarah kepada kerusakan (fasad) bukan musibah apalagi ujian. Kerusakan (fasad) lebih disebabkan oleh kemunkaran manusia dan keengganannya untuk taat kepada aturan Allah SWT.

Kalau kita mau mencermati maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa krisis ini sangat dominan dipengaruhi oleh sistem Kapitalisme yang dipakai dalam menata negeri ini. Kapitalisme adalah sistem yang sudah cacat sejak lahir dan bersifat self destructive. Mengambil Kapitalisme jelas merupakan kemaksiatan. Kerusakan-kerusakan di atas adalah bukti nyata.

Jika faktor dominan penyebab krisis adalah sistem – tanpa menafikan kebobrokan orangnya – maka solusinya adalah pergantian sistem. Masalahnya, sistem mana yang harus dipilih ? Sosialisme telah runtuh. Kapitalisme semakin limbung, bahkan krisis ini pun akibat diterapkannya Kapitalisme. Memilih Kapitalisme berarti mempertahankan krisis. Maka, tinggal satu jawabannya : Islam ! Tentu dibarengi dengan aparat yang amanah.

Perlu dipahami bahwa Islam adalah sebuah sistem kehidupan. Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah ritual saja tapi juga mengatur persoalan berbangsa dan bernegara. Siapa subyek pelaku syari’ah ? Tentu saja individu, kelompok, dan negara. Bahkan, pelaksanaan Islam oleh negara sesungguhnya merupakan perkara yang sudah diketahui kewajibannya dalam Islam (ma’lumun min al din bi al dharurah) sebagaimana kewajiban sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Hal inilah yang menjadikan Islam terterapkan secara sempurna. Dengan diterapkannya Islam akan terwujud rahmat itu. Sebagai contoh dalam hal penataan mata uang sesuai syari’ah, yaitu penggunaan mata uang emas dan perak. Jenis mata uang ini sangat stabil nilainya. Inflasi dapat dihindari. Daya beli menjadi mantap. Dengan penggunaan mata uang emas dan perak krisis moneter dapat dihindari. Dalam kondisi ini, siapakah yang diuntungkan? Apakah umat Islam saja ? Ataukah seluruh umat manusia ?

Abai terhadap penerapan syari’ah Islam juga merupakan kemaksiatan terbesar (akbar al ma’ashi) yang pelakunya layak mendapat ganjaran dosa. Membiarkan syari’at Islam terlantar hanya akan membawa ke jurang kerusakan (fasad) dan membuat do’a tak berjawab. Jalan keluarnya : kembali kepada Islam ! “… agar mereka kembali (ke jalan Islam).” (QS. Ar Rum : 41). Dengan demikian, pemimpin dambaan umat adalah pemimpin yang mau, mampu, dan berani menerapkan syari’ah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’la

Tinggalkan komentar